SEJARAH PERMINYAKAN DI INDONESIA
ABSTRAK
Sejarah perminyakan di Indonesia
mengalami perjalanan yang begitu panjang dari dulu sampai dengan sekarang,
membawa sebuah perubahan dan pengetahuan baru yang kini dipelajari oleh rakyat
Indonesia, agar bisa mandiri untuk mengelola sumberdaya alamnya tidak
tergantung lagi dengan negara asing, namun tidak semudah itu karena pada
kenyataanya perjanjian dengan negara asinglah yang membuat negara kita tidak
mandiri mengelola sumberdaya alamnya, namun jika kita perhatikan banyak rakyat
Indonesia juga yang berpotensi dibidang perminyakan. Kekayaan sumberdaya alam
Indonesia dibidang perminyakan ini sudah terkenal hingga keseluruh dunia, semua
tempat di Indonesia berpotensi untuk menghasilkan minyak bumi, itulah yang
menyebabkan bangsa Belanda dan Jepang menjajah bangsa Indonesaia.
Kata Kunci: Perminyakan, Indonesia, Perjuangan,
Pengetahuan, Rakyat Indonesia
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang
kaya akan kekayaan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
maupun yang tidak dapat diperbaharui merupakan sumberdaya yang esensial bagi
kelangsungan hidup manusia. Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya
tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia dimuka
bumi.[1]
Kekayaan sumberdaya alam Indonesia ini pula yang menyebabkan negara kita
dijajah selama berabad-abad negara Belanda dan juga selama tiga setengah tahun
oleh negara Jepang.
Salah satu sumberdaya alam yang
kita miliki adalah tambang minyak dan gas (MIGAS), yang termasuk dalam golongan
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Sektor migas merupakan salah satu
andalan untuk mendapatkan devisa dalam rangka kelangsungan pembangunan negara.[2]
Pengusahaan minyak dan gas bumi di
Indonesia merupakan salah satu industri yang telah dikembangkan sejak abad ke
19. Kekayaan migas di Indonesia telah mengundang datangnya
perusahaan-perusahaan minyak asing, menanamkan modalnya yang besar. Pada saat
itu timbul mitos bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki keahlian dan
kesanggupan, untuk mengusahakan kekayaan migas ditanah sendiri.
Belajar dari pengalaman, selama
bekerja diperusahaan minyak asing, karyawan minyak bangsa Indonesia memelopori
perjuangan dibidang perminyakan, dengan mendirikan beberapa perusahaan minyak.
Salah satu dari peristiwa itu ialah terjadi pada tanggal 10 Desember 1957, di
kota Pangkalan Brandan Sumatera Utara sebuah perusahaan minyak nasional
berdiri, yang kemudian berkembang menjadi pertamina.[3]
Hampir semua pekerjaan dalam bidang perminyakan dilakukan oleh pekerja-pekerja
Indonesia yang berdasarkan pengalaman berpuluh-puluh tahun telah menjadi tenaga
ahli dalam bidang perminyakan, kecuali beberapa orang tenaga ahli Eropa yang
melaksanakan tugasnya dalam bidang-bidang khusus seperti bidang kimia (chemie)
dan sebagainya.[4]
Peristiwa sejarah yang monumental
ini merupakan salah satu landasan yang kokoh. Terutama didalam usaha
pengembangan kegiatan industri perminyakan di Indonesia selanjutnya. Dengan
tekad dan semangat yang kuat dan pengorbanan yang besar. Pengusahaan migas di
Indonesia dapat diarahkan menjadi sebuah An Integrated Oil Company, sehingga
pertamina mampu menjadi perusahaan yang besar, baik didalam segi dan yang dihasilkan,
maupun sumber energi uang disumbangkan untuk pembangunan.
Setelah berlalunya perjuangan fisik
itu mngambil alih, mengoperasikan serta membangun kembali kilang, instalasi dan
semua penyaluran BBM, serta lapangan-lapangan minyak yang hancur, perjuangan
lanjutan ialah meletakkan dasar-dasar hukum. Setelah Indonesia merdeka,
pengembangan dan kegiatan pengelolaan kekayaan migas dilandasi UUD 1945, Pasal
33.
Pengembangan yang lebih berarti
dibidang migas dicapai setelah masa Orde Baru, yang berasil menetapkan
kebijaksanaan yang terarah untuk mengoperasikan lapangan minyak lepas pantai,
mengembangkan kilang modern, dan memanfatkan gas untuk ekspor maupun keperluan
dalam negeri. Dengan sendirinya mitos yang semula mengecilkan arti dan
kemampuan Bangsa Indonesia mengelola migas yang Sophisticated itu telah runtuh.
Indonesia pada masa kini mampu menjadi produsen LNG terbesar di dunia dan
berswasembada didalam pengadaan BBM dan menjual produk kilang keluar negeri.
Sejarah perjuangan minyak dan gas
bumi, terutama setelah masa 1945, penuh dengan liku-liku dan semanhat
patriotisme yang tinggi. Bagi generasi muda yang dilahirkan setelah masa
perjuangan proklamasi, sudah barang tentu tidak mengalami masa yang penuh
dengan tantangan itu.
Sebagai sumberdaya alam asli Indonesia
perminyakan ini membawa dampak yang posifif ataupun negatif. Dampak positifnya
dirasakan oleh kaum terpelajar yang dapat mempelajari mengenai perminyakan yang
telah diterapkan oleh negara asing di Inonesia. Namun dampak negatifnya masih
terasa sampai sekarang terbukti dengan adanya perjanjian antara negara-negara
asing dengan Indonesia, namun tidak begitu menguntungkan untuk pihak Indonesia.
Masyarakat yang tidak mengerti akan betapa pentingnya perminyakan itu dengan
mudah melaksanakan perjanjian, dikarenakan memang masyarakat Indonesia sendiri
belum mengerti mengenai perminyakan.
Sejarah Awal Perminyakan
Di Indonesia
Di kepulauan Indonesia minyak tidak
memainkan peranan penting sampai abad ke-19. Perkampungan Indonesia seperti
desa membangun menggunakan kayu dari pepohonan. Tapi telah digunakan dalam
pengobatan seperti pembuatan balsem. Selebihnya minyak dan gas dianggap menjadi
bagian biasa dari gejala alam seperti asap gunung berapi dan banjir. Banyak
pemukiman atau sungai kecil di Indonesia dinamakan sesuai nama melayu untuk
minyak (minyak tanah atau latung yang berarti minyak dari tanah seperti sungai
minyak).
Kerajaan di Sumatera, Jawa Dan
Kalimantan bukan hanya melakukan perdangan antar sesama juga sampai Malaka,
Ceylon, Cina. Dari catatan perdaganagn Cina disebutkan adanya kandungan minyak
dan gas di Nusantara.
Begitu ada laporan minyak di timur
jauh, orang eropa memutuskan melakukan pelayaran pada abad ke-16. Ketika orang
barat menjelajahi jawa, sumatera, terutama maluku mereka mendengar berita adanya
minyak di Deli mereka berusaha menguasai Deli. Pemerintah Belanda dengan cepat
menjual minyak aromatik yang cepat menjadi barang dagangan yang bernilai.
Minyak tanah begitu namanya dengan
cepat menjadi barang dagangan yang bernilai di eropa. Penggunaan minyak tanah
terdapat dalam artikel “petroleum” (ditulis chevalier de jaucourt) pada tahun
1765 ‘petroluem adalah minyak alam yang dikeluarkan dari dalam bumi, dibedakan
dari tingkat kekentalan dan kekerasannya, mempunyai warna yang beraneka ragam
putih, kuning, hijau dan kehitaman. Ditemukan di sekitar India, Asia, dan
persia. Yang terkenal terdapat di Sumatra dengan nama ‘minyak tanah’.
Awalnya,
laporan tentang keberadaaan minyak di Maluku datang dari G.E Rumphius, sekitar
akhir abad ke-17. Rumphius menulis semua pengalaman alamnya dalam buku
‘d’Amboinsche Rariteit-kamer’ dalam bukunya ia mendeskripsikan tentang kerang,
fosil, fauna, mineral dan spesimen tanah. Rumphius juga menyebutkan raja Buton
membangun sistem pengairan air dari batu aspal seperti semen.
Catatan sejarah dari eksplorasi
perminyakan yang paling menarik adalah “gunung berapi lumpur” dan “api abadi”
dari Kali Lusi, selatan Rembang. Walaupun wilayah Kali Lusi seperti digambarkan
penjelajah menunjukkan ketertarikan dan kekaguman. Laporan penjelajah, seperti
Junghuhn dan Hasskarl, membawa kita pada pencarian minyak, sekitar 150 tahun
yang lalu.
Mereka menulis ketika memasuki desa
Tjorah enam jam perjalanan dari Semarang menuju Demak menggunakan kuda. Tidak
jauh dari desa itu ada tempat yang disebut “api abadi” (Mer-Api). Diatas tanah
lumpur sekitar 4 sampai 6 lubang, dengan diameter 8-14 inchi dengan kedalaman
hampir satu kaki. Dari lubang itu keluar uap gas yang panas. Penduduk lokal
memberitahu tekanan uap panas itu akan tetap kuat bahkan pada musim hujan.
Selanjutnya Junghuhn dan Hasskarl
melanjutkan perjalanan ke desa Kuwu mereka terkejut dengan gunung lumpur Kuwu.
Gunung lumpur Kuwu selalu mengeluarkan gelembung gas setinggi 10 kaki. Semburan
lumpurnya seperti suara meriam terdengar diseluruh area. Hembusan angin juga
meniupkan bau iodin. Temperatur disekitar tempat itu menjadi sedikit lebih
tinggi dari sekitarnya.
Tempat itu dinamai “Djeblug” atau
“Bledug” dalam bahasa jawa yang dinamai sesuai suara yang keluar dari
gelembung-gelembung gas. Penduduk desa memanfaatkan wilayah itu untuk
mengumpulkan garam. Garam dikumpulkan menggunakan potongan-potongan bambu lalu
dijemur dibawah sinar matahari sampai berubah menjadi kristal-kristal garam.
Garam-garam ini lalu dijual di wilayah sekitar sampai Surakarta.
Garis Besar Sejarah Perkembangan Industri
Perminyakan Indonesia
Sumberdaya alam yang melimpah yang
dimiliki oleh Indonesia merupakan salah satu alasan bangsa Belanda menjajah
Indonesia selama 350 tahun. Baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
seperti yang dihasilkan dari sektor perkebunan (cengkeh, tembakau, pala, karet
dan lain-lain), maupun sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti
batu bara, minyak dan gas bumi. Usaha pencarian minyak di Indonesia pada awalnya
dilakukan oleh Jan Reering yang kemudian tercatat sebagai orang pertama yang
melakukan pencarian minyak secara komersial di Indonesia.[5]
Pada tahun 1871, Jan Reering melakukan pengeboran di lereng gunung Ciremai
(Jawa Barat) dengan menggunakan model yang digunakan di Pennsylvania yang
digerakkan dengan tenaga lembu. Namun usaha pengeboran yang dilakukan tidak
mendapat hasil yang komersial.
Kemudian pada tahun 1885, Aeliko
Jana Zijliker berhasil menemukan kandungan minyak bumi yang komersial di Telaga
Tunggal, yang kemudian menjadi orang kedua yang tercatat sebagai pencarian
minyak di Indonesia. Karena keberhasilannya semakin banyak yang berminat untuk
melakukan eksplorasi diberbagai tempat yang diperkirakan terdapat cadangan
minyak bumi, seperti di Surabaya, Jambi, Aceh Timur, Palembang dan Kalimantan
Timur. Keberhasilan Zijliker tidak hanya berdampak pada sektor hulu, tetapi
juga menciptakan usaha di sektor hilir perminyakan, yaitu usaha kegiatan
produksi minyak bumi, pengolahan minyak bumi serta pemasarannya. Kondisi
tersebut ditandai dengan adanya sebuah maskapai Royal Dutch Company yang
didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda Ja A De Gelder.
Berkembangnya usaha kegiatan di
sektor hilir berdampak pada pembangunan kilang-kilang minyak di berbagai daerah
di Indonesia. Pada tahun 1890 didirikan sebuah pabrik pengilangan yakni Kiling
Minyak Wonokromo pada lapangan Kruka, Jawa Timur, yang menjadi pengilangan
pertama di Pulau Jawa. Selain itu, pabrik pengilangan juga didirikan di Cepu,
Jawa Tengah, setelah berhasil dilakukan pengeboran pada daerah tersebut.
Pembangunan pengilangan minyak kemudian dilanjutkan pada tahun 1892, yaitu di
Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Sebuah pabrik penyulingan kecil yang
didirikan di Balikpapan oleh Sheel Transport and Trading Co. Pada tahun 1894.
Pabrik penyulingan tersebut didirikan setelah J. H. Meeten berhasil menemukan
cadangan minyak di pulau Kalimantan, tepatnya di daerah Sanga-sanga.
Berbagai penemuan cadangan minyak
bumi dan pembangunan kilang-kilang minyak yang telah dilakukan di beberapa
tempat di Indonesia, menjadikan bangsa ini memiliki potensi yang cukup
menjanjikan pada usaha migas untuk masa mendatang. Potensi migas yang dimiliki
Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda ditandai dengan banyaknya
perusahaan minyak asing yang bermunculan. Pada tahun 1921, perusahaan minyak
asing asal Belanda yaitu NIAM (Nederlandsch Indisch Aardolie Maatschappij)
melakukan kegiatan usaha perminyakannya didaerah Jambi. Pulau Bunyu, dan Teluk
Aru di Sumatera Utara. Kemudian diikuti oleh perusahaan asal Amerika Serikat,
yaitu Standard Oil of New Jersey, yang melakukan kegiatan usahanya di Jawa dan
Madura pada tahun 1925. Perusahaan Standard Oil of New Jersey ini lalu
melakukan penggabungan pada bagian produksi dan pengilangan dengan bagian
pemasaran dari Scony Vacuum (Standard Oil of New York) yang kemudian dikenal
dengan nama Mobil Oil. Perusahaan asal Amerika Serikat lainnya yang datang ke
Indonesia yaitu Caltex (California Texas Oil Company) di mana perusahaan ini
merupakan perusahaan asing pertama yang melakukan kegiatan pengeboran di Rokan
Blok pada tahun 1939 di Sebanga, sebelah utara Pekanbaru.
Perkembangan industri perminyakan
di Indonesia tidak hanya berhenti sampai pemerintahan Hindia Belanda, namun
terus berlanjut hingga perang kemerdekaan usai. Setelah perang kemerdekaan,
banyak dibentuk perusahaan minyak nasioal yang juga tidak ingin kalah bersaing
dengan perusahaan minyak asing yang terlebih dahulu melakukan kegiatan usaha industri
ini. Pada tahun 1947, kelompok laskar minyak[6]
membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Namun kemudian
perusahaan ini harus bubar pada tahun 1948 karena perusahaan ini terpaksa meninggalkan
daerah operasinya di Pendopo dan Prabumulih akibat masuknya pasukan-pasukan
Belanda yang lebih menguasai daerah operasi tersebut. Kemudian di Pulau Jawa,
Pemerintahan Republik Indonesia membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional
(PTMN) yang melakukan kegiatan usahanya di sekitar Kawengan dan Kilang minyak
Cepu.
Pada tahun 1968 dibentuklah
Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Negara dan Gas Bumi Nasional (PIN
PERTAMINA) yang merupakan penggabungan dari PERMINA dan PERTAMINA. PERMINA atau
Perusahaan Minyak Nasional merupakan perusahaan minyak nasional yang dibentuk
oleh A. H. Nasution pada tahun 1958, awalnya perusahaan tersebut bernama PT
Eksplorasi Tambang Minyak Indonesia dibentuk pada tahun 1961 dengan status
perusahaan negara, awalnya perusahaan ini berstatus persero (PT) dengan nama PT
PERMINDO (PT Pertambangan Minyak Indonesia).
Setelah pertamina dibentuk sebagai
perusahaan negara, dan dengan dikeluarkannya UU No. 8 tahun 1971[7]
tentang Pertamina, ternyata perusahaan tersebut mengalami perkembangan yang
pesat. Selain berhasil menjadi pengekspor LNG terbesar di dunia hingga kini,
produksi Pertamina akan minyak di Indonesia juga meningkat dari 740 ribu barel
per hari di tahun 1969 hingga 1.620 ribu barel per hari ditahun 1979. Kemajuan
lainnya juga terdapat di bidang pengilangan, selain usaha-usaha perbaikan di
kilang-kilang lama di Pangkalan Brandan, Plaju, Sungai Gerong, Balikpapan,
Sungai Pakning, dan Cilacap juga berhasil dibangun kilang di Balongan.
Namun, kejayaan Pertamina terancam
pada tahun 1999 dengan adanya RUU Migas tahun 1999. RUU tersebut bernaksud
untuk menghapus UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina yang berarti Pertamina
harus dibubarkan. Namun, pengajuan RUU Migas ini mendapat banyak protes dari
berbagai pihak karena jika Pertamina dibubarkan maka kekayaan Pertamina akan
hilang dan beralih pada penguasa-penguasa negara. Dan pada akhirnya RUU Migas
1999 ditolak oleh DPR dan Pertamina tidak jadi dibubarkan.
Status Pertamina sebagai pemain
tunggal dalam industri migas di Indonesia akhirnya berakhir setelah
dikeluarkannya UU Migas No. 22 Tahun 2001. Undang-undang ini merupakan langkah
awal untuk menciptakan liberalisasi di sektor perminyakan untuk menciptakan
pasar yang lebih kompetitif baik di sektor hulu maupun di sektor hilir. Dalam
UU Migas ini, Pertamina akan bertindak sebagai salah satu pelaku bisnis minyak
dan gas bumi yang diperlakukan sama dengan pelaku usaha lainnya, di mana sektor
hulu diatur oleh BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Migas) dan sektor hilir
diatur oleh BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Migas).
Pemberlakuan UU migas sebagai usaha
pencapaian liberalisasi di sektor migas ternyata mendapat respon yang besar
terutama pada sektor hulu dan hilir perminyakan. Sampai dengan tahun 2005
terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir
perminyakan, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU), diantaranya
adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris),
Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco
(Amerika).[8]
Dampak lainnya juga terjadi di sektor hulu, dimana pada pertengahan tahun 2005
dilakukan tender penawaran 35 blok migas yang merupakan kesempatan emas bagi
perusahaan-perusahaan swasta nasional untuk melakukan kegiatan eksplorasi
minyak.[9]
Keikutsertaan perusahaan swasta disektor pengolahan minyak juga dapat dilihat
dari hadirnya PT Tuban Petrochemical
Industries (TPI) yang mulai beroperasi pada bulan Juni 2006. TPI merupakan
group usaha pada sektor hilir perminyakan, yang didalamnya terdiri dari PT
Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang berada di Tuban, JawaTimur, dan
PT Polytama Propindo, di Balongan Cirebon.
Kegiatan usaha perminyakan di
Indonesia sudah dilakukan semenjak tahun 1800-an hingga saat ini, seperti yang
sudah dipaparkan sebelumnya, maka perkembangan industri perminyakan di
Indonesia dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut.
Tahun
|
Keterangan
|
1871
|
Usaha pencarian minyak pertama di
Indonesia oleh Jan Reering, dimana dilakukan pengeboran di lereng Gunung
Ciremai (Jawa Barat)
|
1885
|
Aeliko Jana Zijliker berhasil
menemukan kandungan minyak bumi yang
komersial di Telaga Tunggal.
|
1890-an
|
Pendirian pabrik-pabrik
pengilangan minyak diberbagai daerah di pulau Jawa, Sumatera dan kalimantan
|
1920-an s.d.1930-an
|
Perusahaan minyak asing
bermunculan di Indonesia.
|
1947
|
Berdirinya perusahaan Minyak
Republik Indonesia (PERMIRI) oleh laskar minyak.
|
1968
|
Dibentuknya PN PERTAMINA yang
merupakan penggabungan dari PERMINA dan PERTAMIN.
|
1971
|
Dikeluarkannya UU No. 8 Tahun
1971 tentang pertamina.
|
1999
|
Keberadaan Pertamina terancam
oleh adanya RUU Migas tahun 1999.
|
2000-an
|
Ø Diberlakukannya
liberalisasi pada sektor migas dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2001
tentang migas.
Ø Perusahaan
asing dan perusahaan swasta nasional bermunculan sebagai pelaku usaha di
sektor perminyakan hulu dan hilir.
|
Banyaknya penemuan minyak di daerah-daerah
yang ada di Indonesia tentu saja sangat mempengaruhi masyarakat indonesia
terutama masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang berpotensi menghasilkan
minyak. Belahan dunia di manapun sudah mengakui bahwa minyak Indonesia adalah
minyak yang terbaik diseluruh dunia. Namun ketidaktahuan kita mengenai
pengetahuan perminyakan menjadi halangan yang paling utama, sehingga kita harus
meminta bantuan dari negara asing, banyaknya perjanjian yang merugikan negara
Indonesia juga itu sering terjadi sampai saat ini juga masih saja terjadi.
Namun masyarakat Indonesia sendiri tidak
sepenuhnya tidak mengetahui mengenai perminyakan, terbukti masyarakat Indonesia
juga banyak yang bisa bekerja di perminyakan. Sebagai masyarakat Indonesia
menjadikan negara mandiri dengan mengolah sumberdaya negara adalah tugas kita
semua. Para pejuang perminyakan pada zaman dahulu saja berani memperjuangkan
hak-haknya mengenai perminyakan. Maka kita pun harus lebih bersemangat untuk
mengelola sumberdaya negara Indonesia yang begitu beragam termasuk minyak bumi.
KESIMPULAN
Indonesia sebagai negara yang kaya
akan sumberdaya alamnya baik yang tidak dapat diperbaharui maupun yang dapat
diperbaharui adalah kekayaan alam milik negara kita bersama yang seyogyanya
menjadikan negara ini sejahtera, namun pada kenyataannya tidak demikian, rakyat
Indonesia tidak dapat menikmati hasil kekayaan alamnya tersebut, karena
kerjasama dengan pihak asing ini yang membuat nasib rakyat Indonesia
terkatung-katung, padahal sumber minyak bumi Indonesia adalah minyak terbaik
diseluruh dunia dan kekayaan sumberdaya alam minyak bumi Indonesia pun sangat
melimpah, namun jika dikikis terus menerus oleh negara asing maka akan habis
juga, padahal minyak bumi termasuk kedalam sumberdaya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
Perjanjian dengan negara asing ini
bisa terjadi dikarenakan pengetahuan rakyat Indonesia mengenai perminyakan
kurang begitu memadai, namun walaupun demikian ternyata banyak juga kaum
terpelajar yang mengerti tentang perminyakan, terbukti dari awal pengeboran
minyak di Indonesia sampai dengan sekarang ada rakyat Indonesia yang ikut
meneliti dan bekerja dibidang perminyakan, namun tidak dapat dipungkiri
perjanjian dengan pihak asinglah yang membuat kita tidak maksimal mengelola
sumberdaya alam minyak bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
Jakarta:
Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 11.
Baswir, Revrisond. Amerikanisme BBM. Republika 21
Maret 2005.
Fauzi,
Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Hasyim,
Ibrahim. 2005. Siklus Krisis di Sekitar Energi. Proklamasi Publishing House.
Jakarta.
Moehammad
Hasan, MR. Teuku. 1985. Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional. Yayasan Sari
Pinang Sakti. Jakarta.
Sanusi,
Bachwari. 2004. Potensi Ekonomi Migas Indonesia. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Team
Sejarah 40 Tahun Perminyakan Indonesia Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Departemen Pertambangan Dan Energi. 1985. 40 Tahun Perkembangan Usaha
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia 1945-1985. Biro Humas dan HLN
PERTAMINA. Jakarta.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1971. Pertamina menjadi satu-satunya BUMN yang mengusahakan
bidang migas secara nasional.
[1] Akhmad Fauzi. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004)
[2] Anonim. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional tahun 2004-2009.
(Jakarta: Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 11. 2005).
[3] Team Sejarah 40 Tahun Perminyakan Indonesia Direktorat Jenderal Minyak
dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi. 40 Tahun Perkembangan Usaha
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia 1945-1985. (Jakarta: Biro Humas
dan HLN PERTAMINA. 1985)
[4] MR. Teuku. H. Moehammad Hasan. Sejarah Perjuangan Perminyakan
Nasional. (Jakarta: Yayasan Sari Pinang Sakti. 1985. Halaman. 14)
[5] Bachwari Sanusi. Potensi Ekonomi Migas Indonesia. (Jakarta: PT.
Rineka Cipta. 2004. Halaman 2)
[6] Laskar minyak adalah sekelompok karyawan-karyawan serta veteran-veteran yang pernah aktif bekerja dibidang perminyakan selama perang kemerdekaan Indonesia, baik di lapangan maupun di pabrik-pabrik pengilangan (Bachrawi Sanusi, 2004: 14).
[7] Dalam UU No. 8 Tahun 1971, dinyatakan bahwa Pertamina menjadi
satu-satunya BUMN yang mengusahakan bidang migas secara nasional.
[8] Revrisond Baswir, “Amerikanisme BBM”, (Republika, 21 Maret
2005).
[9] Ibrahim Hasyim, Sikluus Krisis di Sekitar Energi, (Jakarta:
Proklamasi Publishing House. 2005. Halaman 47).
[10] Vio Ani Suwarni, Universitas Negeri Jakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar