Pages - Menu

Sabtu, 12 Januari 2019

PERANAN KAUM HAJI DALAM PEMBENTUKAN NASIONALISME INDONESIA


Peranan Kaum Haji Dalam Pembentukan Nasionalisme Indonesia.
Definisi Haji (hajj) menurut akar katanya (“menurut bahasa” kata para santri) kata Haji berarti “pergi ke suatu tempat” (Snouck Hurgronje 1895:16) atau “menuju tempat yang diangungkan” (irawan 2011:32) menurut Quraish Shihab (2000:83), kata haji menunjukan segala jenis ziarah: “Haji dalam arti berkunjung ke suatu tempat tertentu untuk tujuan ibadah, dikenal oleh umat manusia  melalui tuntutan agama-agama, khususnya di bagian Timur dunia kita ini.[1] Namun dalam bahasan ini, kata haji lebih dimaksudkan dalam artinya yang biasa dalam bahasa Indonesia yang sudah sama-sama kita tahu, yaitu ziarah haji ke Mekkah sebagai rukun iman yang ke-5.[2] Sedangkan kata kaum dapat diartikan sebagai golongan (orang yang sepakat,sekerja dsb)[3]. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kaum Haji adalah golongan yang telah pergi melaksanakan ibadah di Mekkah. Dalam bahasan ini penulis akan lebih menyoroti kaum Haji di Minangkabau pada akhir abad 18 dan kaum Haji di Banten pada akhir abad 19.
Mekkah dianggap sebagai pusat ajaran islam dalam bentuk kitab dan fatwa[4], dan sejak abad ke 14 hubungan anatara Nusantara dan Tanah Arab cukup lazim. Pada abad ke 15 sudah banyak orang-orang arab yang bermukim di Nusantara dan sedini abad ke-17 orang Indonesia yang bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah untuk belajar, jumlahnya lebih banyak lagi.[5] Tentu saja hal ini dapat berjalan lancar akibat pelayaran antara kepulauan Indonesia dan Tanah Arab. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa perjalanan haji juga cukup lazim.[6] Dan tidak dapat disangkal lagi bahwa perjalanan naik haji itu telah melahirkan satu benteng solidaritas yang kokoh dan mereka yang pulang dari negeri Mekkah membawa semangat kebesaran dan keagungan islam.[7]
Pada tahun 1803 para saudagar Minangkabau yang makmur memungkinkan lebih banyak orang yang naik haji.[8] Sedangkan pada tahun itu Mekkah sedang menghadapi masa keguncangan akbiat serangan dari para pejuang padang pasir atau kaum Wahabbi dari Arab Timur yang menyerukan tuntutan untuk kembali ke ajaran nabi dan sahabat-sahabatnya yang paling fundamental (mendasar).[9]
Haji bagi masyarakat Banten merupkana hal yang sangat suci, mereka sangat menghormati para haji dan para haji dapat menggunakan pengaruh mereka yang sangat besar untuk menggerakan masyarakat agar dapat lebih menaati kewajiban agama mereka.[10] Jika di Minangkabau yang pergi melaksanakan ibadah haji adalah para  saudagar, di Banten tidak hanya saudagar, melainkan juga para tuan tanah. Hal ini di akibatkan karena di Banten merupakan masyarakat agraris yang kekayaan dan status kedudukannya ditentukan dari kepemilikan tanah.
            Kondisi sosial-ekonomi Banten utara sangat lah makmur, ini disebabkan oleh terdapat tanah-tanah sultan, dekat denan kota pelabuhan, terdapat tanaman-tanaman  komersial akibat dari sistem irigarsi yang bagus. Selain itu di Utra juga terdapat Industri. Industri itu menyebabkan pemusatan penduduk. Utara juga merupakan penghasil beras utama. Dan di Banten, kaum haji merupakan elite pedesaan.[11]
Rupanya ajaran wahabi yang terjadi di Mekkah tahun 1803 ini sangat berkesan bagi para penziarah Minangkabau sehingga mereka bertekad untuk melaksanakan pembaharuan total apabila mereka kembali ke kerumah.[12] Mereka dikenal sebagai Padri, yang berarti orang dari Pedir (pidie) sebuah pelabuhan di Aceh.[13] Di Minangkabau para Haji yang berganti nama menjadi Padri yang telah kembali kedesanya menjadi persaudaran islam atau tarekrat yang disebut sebagai sufi.[14] Mereka menyebarkan ajaranya melalui surau atau rumah para pemuda setelah akil baliq[15]. Melalui surau ini para Padri meyebarkan ajarannya, salah satu ajaran yang sangat ditekankan adalah terjadinya masyarakat islam.
Melihat kondisi masyarakat Minangkabau yang banyak terjadi penyimpangan dalam ajaran islam, seperti judi, minum-minuman keras dll. Para kaum Padri membuat suatu gerakan yang disebut gerakan Padri. Gerakan ini melembagakan ajaran-ajaran agamanya dan yang menjadi ciri khas gerakan ini adalah penggunaaan kekerasan yang teroganisir untuk melawan penduduk yang tidak mau tunduk terhadap gagasan gerakan Padri tentang masyarakat islam.[16] Hal itu mengakibatkan Padri harus bertentangan dengan kaum bangsawan lokal atau yang biasa disebut sebagai pemuka aat. Apalagi setelah bangsa Barat masuk ke padri, semangat untuk melawan penjajah dan “orang kafir” semakin membara.
Pada tanggal 11 Januari 1833 terjadi pemberontakan di Bonjol, jam empat pagi, kurang dari empat bulan sejak menyerah pada kekuasaan Belanda.[17] Para penelaah sejarah Afrika yang sejak semula membahas tema ini merasa bahwa gerakan-gerakan melawan kependudukan Eropa dapat di anggap sebagai gerakan “perlawanan awal”[18]. Ini dirumuskan sebagai gerakan yang bersikap tradisional dan berbeda dengan gerakan nasinalis yang bersifat modern. Gerakan nasionalis modern lebih di ilhami oleh semangat pemikiran Barat. di Eric Stokes menyebut gerakan ini sebagai “ur-nasionalisme” yang permanen dan mendasar. Gerakan ur-nasionalisme ini mewujudkan perlawanannya terhadap kehadiran Eropa dengan serangkaian bentuk bersejarah yang jelas.[19] Gerakan 1833 atau dikenal sebagai Perang Padri. Gerakan ini merupakan nasionalisme tradisional, dimana kaum Padri menyampingkan perbedaan antara kaum Padri dan kaum adat dengan bersatu padu melawan penjajahan Belanda.
Seperti halnya di Minangkabau, di Banten para kaum haji yang memiliki pandangan yang ingin merubah sistem adalah mereka yang lama di Mekkah.[20]  Kaum haji di Banten merupakan kaum elite pedesaan yang terpinggirkan setelah pemerintah kolonial belanda menghapuskan sistem stratifikasi bedasarkan hak tanah dengan sistem sewa tanah. Ditambah lagi dengan munculnya elite baru (mereka yang bukan bangsawan dan tidak memiliki kedudukan lokal tetapi duduk di pemerintahan kolonial).
Kaum haji  memegang peranan yang cukup penting dalam perastuan di masyarakat, sehingga terjadi seperti apa yang kita tahu dengan pemnerontakan petani Banten 1888. Para kaum haji mampu menggerakan masyarakat untuk berkumpul di masjid-masjid. Padahal yang terjadi di pertemuan itu adalah konsolidasi untuk melawan penjajahan Belanda. Semangat yang dibawa saat pemberontakan petani Banten 1888 bukanlah semangat naionalisme melainkan semangat melawan orang kafir ini juga merupakan semangat perlawanan yang bersifat tradisional. Semangat melawan orang kafir ini jelas dibawakan oleh kaum haji dan selain semangat itu terdapat semangat untuk merubah sistem yang mendasar, yaitu menghilangkan pemerintahan kolonial Belanda.[21]
Peranan kaum haji di daerah Minangkabau dan Banten dalam menyebarkan pemikirannya tentang perlawanan melawan orang Barat atau anti-Barat dan penolakan terhadap adanya orang asing di wilayahnya jelas berdampak besar bagi masyarakat di sekitarnya dan bagi masyarakat luas di Indonesia. Hal ini jelas dibuktikan dengan bersatunya mereka dan melakukan gerakan yang revolusioner yang ingin merubah sistem pemerintahan kolonial yang menyengsarakan dan dibuktikan dengan  adanya peristiwa penting seperti perang Padri 1833 dan pemberontakan petani Banten 1888 dimana peranan kaum haji sangat besar disitu. Dan menginspirasi gerakan-gerakan perlawanan di daerah lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok : Komunitas Bambu 2008)
2.      Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984)
3.      Naik Haji di Masa Silam Jilid I-III (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia 2013)
4.      Kamus Besar Bahasa Indonesia
5.   Rizky Aristya Setiawan, Universitas Negeri Jakarta, 2013


[1] Naik Haji di Masa Silam I (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia 2013) Hal 4
[2] ibid
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4] Naik Haji di Masa Silam (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia 2013) Ha 15
[5] ibid
[6] Ibid hal 16
[7] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984) hal 216
[8] Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok : Komunitas Bambu 2008) hal202
[9] Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok : Komunitas Bambu 2008) hal 202
[10] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984) hal 209
[11] Ibid 79
[12] Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok : Komunitas Bambu 2008) hal 204
[13] Ibid
[14] ibid 192
[15] Ibid hal 191
[16] Ibid hal 210
[17] Ibid hal 305
[18] Ibid
[19] Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok : Komunitas Bambu 2008) hal 306
[20] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984) hal 216
[21]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar