Peranan
Kaum Haji Dalam Pembentukan Nasionalisme Indonesia.
Definisi
Haji (hajj) menurut akar katanya (“menurut bahasa” kata para santri) kata Haji
berarti “pergi ke suatu tempat” (Snouck
Hurgronje 1895:16) atau “menuju tempat yang diangungkan” (irawan 2011:32)
menurut Quraish Shihab (2000:83), kata haji menunjukan segala jenis ziarah:
“Haji dalam arti berkunjung ke suatu tempat tertentu untuk tujuan ibadah,
dikenal oleh umat manusia melalui
tuntutan agama-agama, khususnya di bagian Timur dunia kita ini.[1]
Namun dalam bahasan ini, kata haji lebih dimaksudkan dalam artinya yang biasa
dalam bahasa Indonesia yang sudah sama-sama kita tahu, yaitu ziarah haji ke
Mekkah sebagai rukun iman yang ke-5.[2]
Sedangkan kata kaum dapat diartikan sebagai golongan (orang yang
sepakat,sekerja dsb)[3].
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kaum Haji adalah golongan yang telah
pergi melaksanakan ibadah di Mekkah. Dalam bahasan ini penulis akan lebih
menyoroti kaum Haji di Minangkabau pada akhir abad 18 dan kaum Haji di Banten
pada akhir abad 19.
Mekkah dianggap
sebagai pusat ajaran islam dalam bentuk kitab dan fatwa[4],
dan sejak abad ke 14 hubungan anatara Nusantara dan Tanah Arab cukup lazim.
Pada abad ke 15 sudah banyak orang-orang arab yang bermukim di Nusantara dan
sedini abad ke-17 orang Indonesia yang bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah
untuk belajar, jumlahnya lebih banyak lagi.[5]
Tentu saja hal ini dapat berjalan lancar akibat pelayaran antara kepulauan
Indonesia dan Tanah Arab. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa perjalanan haji
juga cukup lazim.[6] Dan
tidak dapat disangkal lagi bahwa perjalanan naik haji itu telah melahirkan satu
benteng solidaritas yang kokoh dan mereka yang pulang dari negeri Mekkah
membawa semangat kebesaran dan keagungan islam.[7]
Pada
tahun 1803 para saudagar Minangkabau yang makmur memungkinkan lebih banyak
orang yang naik haji.[8]
Sedangkan pada tahun itu Mekkah sedang menghadapi masa keguncangan akbiat
serangan dari para pejuang padang pasir atau kaum Wahabbi dari Arab Timur yang
menyerukan tuntutan untuk kembali ke ajaran nabi dan sahabat-sahabatnya yang
paling fundamental (mendasar).[9]
Haji
bagi masyarakat Banten merupkana hal yang sangat suci, mereka sangat menghormati
para haji dan para haji dapat menggunakan pengaruh mereka yang sangat besar
untuk menggerakan masyarakat agar dapat lebih menaati kewajiban agama mereka.[10]
Jika di Minangkabau yang pergi melaksanakan ibadah haji adalah para saudagar, di Banten tidak hanya saudagar,
melainkan juga para tuan tanah. Hal ini di akibatkan karena di Banten merupakan
masyarakat agraris yang kekayaan dan status kedudukannya ditentukan dari
kepemilikan tanah.
Kondisi
sosial-ekonomi Banten utara sangat lah makmur, ini disebabkan oleh terdapat
tanah-tanah sultan, dekat denan kota pelabuhan, terdapat tanaman-tanaman komersial akibat dari sistem irigarsi yang
bagus. Selain itu di Utra juga terdapat Industri. Industri itu menyebabkan
pemusatan penduduk. Utara juga merupakan penghasil beras utama. Dan di Banten,
kaum haji merupakan elite pedesaan.[11]
Rupanya
ajaran wahabi yang terjadi di Mekkah tahun 1803 ini sangat berkesan bagi para
penziarah Minangkabau sehingga mereka bertekad untuk melaksanakan pembaharuan
total apabila mereka kembali ke kerumah.[12]
Mereka dikenal sebagai Padri, yang berarti orang dari Pedir (pidie) sebuah
pelabuhan di Aceh.[13]
Di Minangkabau para Haji yang berganti nama menjadi Padri yang telah kembali
kedesanya menjadi persaudaran islam atau tarekrat yang disebut sebagai sufi.[14]
Mereka menyebarkan ajaranya melalui surau atau rumah para pemuda setelah akil
baliq[15].
Melalui surau ini para Padri meyebarkan ajarannya, salah satu ajaran yang
sangat ditekankan adalah terjadinya masyarakat islam.
Melihat
kondisi masyarakat Minangkabau yang banyak terjadi penyimpangan dalam ajaran
islam, seperti judi, minum-minuman keras dll. Para kaum Padri membuat suatu
gerakan yang disebut gerakan Padri. Gerakan ini melembagakan ajaran-ajaran
agamanya dan yang menjadi ciri khas gerakan ini adalah penggunaaan kekerasan
yang teroganisir untuk melawan penduduk yang tidak mau tunduk terhadap gagasan
gerakan Padri tentang masyarakat islam.[16]
Hal itu mengakibatkan Padri harus bertentangan dengan kaum bangsawan lokal atau
yang biasa disebut sebagai pemuka aat. Apalagi setelah bangsa Barat masuk ke
padri, semangat untuk melawan penjajah
dan “orang kafir” semakin membara.
Pada
tanggal 11 Januari 1833 terjadi pemberontakan di Bonjol, jam empat pagi, kurang
dari empat bulan sejak menyerah pada kekuasaan Belanda.[17]
Para penelaah sejarah Afrika yang sejak semula membahas tema ini merasa bahwa gerakan-gerakan
melawan kependudukan Eropa dapat di anggap sebagai gerakan “perlawanan awal”[18].
Ini dirumuskan sebagai gerakan yang bersikap tradisional dan berbeda dengan
gerakan nasinalis yang bersifat modern. Gerakan nasionalis modern lebih di
ilhami oleh semangat pemikiran Barat. di Eric Stokes menyebut gerakan ini
sebagai “ur-nasionalisme” yang permanen dan mendasar. Gerakan ur-nasionalisme
ini mewujudkan perlawanannya terhadap kehadiran Eropa dengan serangkaian bentuk
bersejarah yang jelas.[19]
Gerakan 1833 atau dikenal sebagai Perang Padri. Gerakan ini merupakan
nasionalisme tradisional, dimana kaum Padri menyampingkan perbedaan antara kaum
Padri dan kaum adat dengan bersatu padu melawan penjajahan Belanda.
Seperti
halnya di Minangkabau, di Banten para kaum haji yang memiliki pandangan yang
ingin merubah sistem adalah mereka yang lama di Mekkah.[20] Kaum haji di Banten merupakan kaum elite
pedesaan yang terpinggirkan setelah pemerintah kolonial belanda menghapuskan
sistem stratifikasi bedasarkan hak tanah dengan sistem sewa tanah. Ditambah
lagi dengan munculnya elite baru (mereka yang bukan bangsawan dan tidak
memiliki kedudukan lokal tetapi duduk di pemerintahan kolonial).
Kaum
haji memegang peranan yang cukup penting
dalam perastuan di masyarakat, sehingga terjadi seperti apa yang kita tahu
dengan pemnerontakan petani Banten 1888. Para kaum haji mampu menggerakan
masyarakat untuk berkumpul di masjid-masjid. Padahal yang terjadi di pertemuan
itu adalah konsolidasi untuk melawan penjajahan Belanda. Semangat yang dibawa
saat pemberontakan petani Banten 1888 bukanlah semangat naionalisme melainkan semangat
melawan orang kafir ini juga merupakan semangat perlawanan yang bersifat
tradisional. Semangat melawan orang kafir ini jelas dibawakan oleh kaum haji
dan selain semangat itu terdapat semangat untuk merubah sistem yang mendasar,
yaitu menghilangkan pemerintahan kolonial Belanda.[21]
Peranan
kaum haji di daerah Minangkabau dan Banten dalam menyebarkan pemikirannya
tentang perlawanan melawan orang Barat atau anti-Barat dan penolakan terhadap
adanya orang asing di wilayahnya jelas berdampak besar bagi masyarakat di
sekitarnya dan bagi masyarakat luas di Indonesia. Hal ini jelas dibuktikan
dengan bersatunya mereka dan melakukan gerakan yang revolusioner yang ingin
merubah sistem pemerintahan kolonial yang menyengsarakan dan dibuktikan dengan adanya peristiwa penting seperti perang Padri
1833 dan pemberontakan petani Banten 1888 dimana peranan kaum haji sangat besar
disitu. Dan menginspirasi gerakan-gerakan perlawanan di daerah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Christine
Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan
Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok : Komunitas Bambu
2008)
2. Kartodirjo,
Pemberontakan Petani Banten 1888
(Jakarta :Pustaka Jaya 1984)
3. Naik Haji di Masa Silam
Jilid I-III (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia 2013)
4. Kamus
Besar Bahasa Indonesia
5. Rizky Aristya Setiawan, Universitas Negeri Jakarta, 2013
[1] Naik Haji di Masa Silam I
(Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia 2013) Hal 4
[2] ibid
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4] Naik Haji di Masa Silam (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia 2013)
Ha 15
[5] ibid
[6] Ibid hal 16
[7] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984) hal 216
[8] Christine Dobbin, Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok
: Komunitas Bambu 2008) hal202
[9] Christine Dobbin, Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok
: Komunitas Bambu 2008) hal 202
[10] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984) hal 209
[11] Ibid 79
[12] Christine Dobbin, Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok :
Komunitas Bambu 2008) hal 204
[13] Ibid
[14] ibid 192
[15] Ibid hal 191
[16] Ibid hal 210
[17] Ibid hal 305
[18] Ibid
[19] Christine Dobbin, Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 ( Depok
: Komunitas Bambu 2008) hal 306
[20] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888 (Jakarta :Pustaka Jaya 1984) hal 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar